Belum lama ini, Timboel Siregar mendapatkan sebuah laporan bahwa ada seorang bayi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ditolak oleh rumah sakit. Kondisi sang bayi ketika itu tengah mengalami muntah darah. Dari informasi yang diterima olehnya, orang tua dari bayi tersebut diminta untuk melakukan rawat jalan.
Melihat kondisi bayi yang sedang muntah darah, rawat jalan pun bukanlah pilihan. Sebab, pasien tidak akan mendapat fasilitas pendukung yang maksimal untuk keselamatan nyawanya. Kondisi inilah yang menyebabkan Timboel marah. Memandang pesimis janji-janji pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan terhadap rakyatnya.
"Ini (kasus) riil ini. Baru tadi. Saya bilang ini keterlaluan. Walaupun dokter bilang ini masih bisa rawat jalan, tapi kalau muntah darah apalagi anak masih bayi ini kan dia (BPJS Kesehatan) harus bisa mencarikan (kamar perawatan)," tutur Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch.
Kasus seperti ini mestinya tidak terulang lagi di hari depan. Timboel masih memiliki harapan demikian. Seiring dengan rencana penghapusan kelas bagi para peserta BPJS. Rencana pemerintah, kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 bagi peserta BPJS Kesehatan akan dihilangkan. Hal ini tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 ayat 4. Bunyinya "dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar".
Inti dari perubahan menjadi kelas standar adalah tidak lain untuk memastikan peserta JKN mudah mengakses tempat tidur atau ruang perawatan. Tidak ada lagi diskriminasi. Selama ini pasien umum lebih didahulukan dari pada pasien peserta BPJS Kesehatan. Jadi, bukan saja mengubah regulasi, namun juga sistem dan pola pikirnya untuk keadilan bagi peserta BPJS.
"Ini yang menurut saya perubahan standar ini ada manfaatnya. Kalau sekarang kelas 1, 2, 3, ada persoalan ini. Kita harapkan nanti kelas standar tidak ada lagi."
Dalam jurnal Health Financing in Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2009, dipaparkan bahwa cikal bakal jaminan kesehatan masyarakat sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai pemerintah dan keluarganya mendapatkan santunan biaya perawatan rumah sakit dari pemerintah Belanda.
Sekitar tahun 1984 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengubah status BPDPK menjadi BUMN. Yaitu Perum Husada Bakti (PHB). Cakupannya pun diperluas. Menjamin kesehatan PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, serta anggota keluarganya.
Peraturan Presiden No 69/1991 terbit dan menggantikan Keppres No 230/1968. Isinya adalah peserta asuransi kesehatan dibagi menjadi dua kategori. Ada yang wajib, yakni PNS. Serta peserta sukarela bagi para karyawan BUMN.
Pemerintah Kembali mengeluarkan Peraturan No 6/1992. Mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT Askes (Persero), yang menambahkan satu program Askes Komersial untuk menjaring karyawan BUMN. Sistemnya mirip Asuransi Kesehatan Sosial. Namun premi dibayar secara penuh oleh karyawan dengan persentase sesuai dengan gaji dan tidak ada subsidi premi yang berasal dari pemerintah maupun pemberi kerja.
Setelah itu terus mengalami perubahan, muncul Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Serta PP No 14/1992 dan PP No 36/1994. Isinya mewajibkan perusahaan dan tenaga kerja mengikuti program Jamsostek. Era 1997-1998, muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial yang memberikan bantuan bagi masyarakat miskin. Pada 2004, pemerintah mengeluarkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang kemudian biasa dikenal dengan Askeskin untuk menjangkau 60 warga miskin dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat.
Sekitar 2008, pelayanan kesehatan lebih disempurnakan dengan program Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat (Jamkesmas). Menyasar kepada masyarakat miskin seluruh Indonesia yang iurannya ditanggung secara penuh oleh pemerintah. Program ini dibentuk di 200 kabupaten / kota di seluruh Indonesia.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan aturan dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Di tahun 2011, pemerintah mengamanatkan PT Askes (Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial. Tepat pada 1 Januari 2014, PT Askes berubah nama menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Jejak Panjang perubahan sistem jaminan kesehatan di Indonesia tidak lain bertujuan untuk meningkatkan layanan dan kualitas. Serta menjangkau lebih banyak warga masyarakat Indonesia. Dari data terbaru pada Maret 2021, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mencapai 82,3 persen dari total penduduk Indonesia. Saat ini jumlah peserta terus dikejar hingga mencapai target Universal Health Coverage (UHC) sebesar 98 persen. Targetnya adalah tercapai pada tahun 2024.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rahmad Handoyo menjelaskan, penghapusan kelas dan menyamakan peserta BPJS menjadi kelas standar merupakan bagian dari pembenahan sistem dalam jaminan Kesehatan.
"Ya tentu mengapa diberikan kelas standar itu untuk menjawab keluhan dan kendala ya," tegasnya.
Peserta BPJS juga tidak boleh lagi dipandang sebelah mata oleh pihak Rumah Sakit. Sebab selama ini, pasien BPJS Kesehatan dianggap anak tiri dengan layanan Kesehatan yang minimal. Berbeda pada pasien non-BPJS. Handoyo menegaskan, saat ini BPJS Kesehatan adalah raja di mata rumah sakit. Dia menyebut, 70 persen hidup RS berasal dari uang peserta BPJS.
Jika layanan terhadap pasien BPJS tidak maksimal, maka rumah sakit harus diberi teguran. Dia mendorong direksi BPJS Kesehatan untuk mengurai persoalan yang kerap dikeluhkan oleh peserta BPJS. Mulai dari antre lama berjam-jam hingga fasilitas kesehatan.
"Saya berharap BPJS itu tegas, kalau ditemukan rakyat tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, BPJS bertindak keras, hentikan kerjasama dengan RS," ujarnya.
Pakar Kesehatan Masyarakat Prof Hasbullah Thabrany menilai, pelayanan BPJS Kesehatan yang kerap disebut buruk, pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan besaran pembayaran. Jika BPJS membayar rumah sakit dan dokter untuk pelayanan dengan harga yang layak, maka rumah sakit akan berlomba-lomba melayani peserta BPJS Kesehatan.
"Kalau BPJS membayar rumah sakit dengan harga yang laik, tidak mungkin rumah sakit mau membeda-bedakan, pasti dikasih karpet merah, kan begitu. Logis banget itu," jelasnya.
Permasalahan pembayaran ini merembet kepada layanan, termasuk juga pendaftaran. Hasbullah mengakui bahwa sistem antrean rumah sakit dan puskesmas banyak yang masih belum baik. Namun kembali, jika BPJS Kesehatan membayar mereka dengan layak, maka permasalahan ini perlu diperhatikan untuk segera dibenahi.
"Banyak peserta datang pagi baru dilayani sore. Kembali, kalau BPJS bayar dengan baik, tentu rumah sakit, klinik, puskesmas harus pasang karpet merah supaya mereka bisa melayani degan sebaik-baiknya. Kalau melayani sebaik-baiknya mereka dapat uang lebih banyak, kan begitu sederhana saja," tuturnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien memastikan bahwa pihaknya akan terus mendorong mengenai keberlanjutan, kualitas, dan keadilan yang dilaksanakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya adalah dengan penghapusan kelas kepesertaan.
Menurutnya, dasar kebijakan ini ialah Undang-Undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada Pasal 23 Ayat 4 yang menyatakan dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar.
Sementara, berdasarkan Perpres 64 tahun 2020 di Pasal 54 B, standarisasi diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Sejauh ini kajian sedang dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Dalam proses rencana, pelaksanaan KRIS JKN akan dilakukan secara bertahap dan bertransisi sebelum menjadi kelas tunggal JKN sebagaimana amanah UU SJSN," ungkapnya.
Anggota Komisi IX Saleh Daulay menerangkan, prinsip jaminan sosial ini adalah masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan secara menyeluruh dengan standar yang sama. Sebagai perwujudan dari rasa keadilan sosial. Sehingga, jangan ada kesan ada pasien yang bisa mendapat akses kesehatan lebih bagus dari pada lainnya. Sebagai penyelenggara, BPJS Kesehatan harus benar-benar menjamin rasa keadilan. Itu sebagai dasar dan amanat undang-undang.
Fenomena yang terjadi saat ini, terdapat pelayanan yang berbeda karena ada kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 serta masyarakat umum yang menggunakan asuransi. Mengesankan di luar pasien BPJS lebih diutamakan.
"Itu melanggar sebenarnya. Tidak boleh dan harus diperbaiki oleh pemerintah. Kalau nanti misalkan semuanya sudah standar sama yang mesti semuanya sama. Memang lagi tidak boleh berbeda-beda," tegasnya.
Wacana perubahan skema BPJS Kesehatan yang mengganti kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dengan kelas standar merupakan amanat dari undang-undang. Tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 ayat 4. Bunyinya adalah "dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar".
Teknisnya diatur dalam Perpres 64 Tahun 2020 yang merupakan Perubahan Kedua atas Perpres 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Diamanahkan dalam Pasal 54 B, penerapan kelas standar dilakukan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Aturan baru soal kelas dalam pelayanan BPJS akan diberlakukan secara menyeluruh pada 2025.
Proses transisi menjadi kelas tunggal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seperti tertuang dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Mengacu JKN, keuntungan dari penghapusan kelas dilihat dari dua yaitu manfaat medis dan non medis.
Manfaat medis menjadi tanggungjawab Kemenkes yang sampai sekarang masih berproses diskusi. Termasuk implikasi pada perubahan daftar jenis penyakit yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Sedangkan manfaat non medis berupa kelas rawat inap JKN yang menjadi tugas DJSN untuk mempersiapkannya.
Inti dari perubahan menjadi kelas standar adalah memastikan peserta JKN mudah mengakses tempat tidur atau ruang perawatan. Tak ada diskriminasi. Selama ini pasien umum lebih didahulukan ketimbang pasien BPJS. Jadi bukan hanya mengubah regulasi, tapi juga sistem dan pola pikir untuk keadilan bagi peserta BPJS.
"Sehingga mereka benar-benar memastikan ketika ada pasien atau peserta JKN membutuhkan ruang perawatan mereka carikan. Kalau nanti sama saja (pasien JKN) susah mengakses apa manfaatnya kita berubah menjadi kelas standar," pesan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar.
DJSN belum bicara mengenai dampak penghapusan kelas terhadap kewajiban iuran yang harus dibayarkan peserta BPJS Kesehatan. Beredar informasi, besarannya antara Rp50.000 dan Rp75.000.
Menurut Anggota DJSN Muttaqien, komposisi iuran hingga saat ini masih dalam proses pengkajian. Iuran akan dibagi antara kelas Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Memperhatikan besaran inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan dan yang paling penting kemampuan peserta. Terutama harus dilihat di masa Pandemi.
Prosesnya, sesuai Perpres 64 Tahun 2020, DJSN dan kementerian terkait akan mengusulkan iuran peserta BPJS Kesehatan kepada Presiden. Keputusan ada di tangan Kepala Negara.
Melihat kondisi bayi yang sedang muntah darah, rawat jalan pun bukanlah pilihan. Sebab, pasien tidak akan mendapat fasilitas pendukung yang maksimal untuk keselamatan nyawanya. Kondisi inilah yang menyebabkan Timboel marah. Memandang pesimis janji-janji pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan terhadap rakyatnya.
"Ini (kasus) riil ini. Baru tadi. Saya bilang ini keterlaluan. Walaupun dokter bilang ini masih bisa rawat jalan, tapi kalau muntah darah apalagi anak masih bayi ini kan dia (BPJS Kesehatan) harus bisa mencarikan (kamar perawatan)," tutur Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch.
Kasus seperti ini mestinya tidak terulang lagi di hari depan. Timboel masih memiliki harapan demikian. Seiring dengan rencana penghapusan kelas bagi para peserta BPJS. Rencana pemerintah, kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 bagi peserta BPJS Kesehatan akan dihilangkan. Hal ini tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 ayat 4. Bunyinya "dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar".
Inti dari perubahan menjadi kelas standar adalah tidak lain untuk memastikan peserta JKN mudah mengakses tempat tidur atau ruang perawatan. Tidak ada lagi diskriminasi. Selama ini pasien umum lebih didahulukan dari pada pasien peserta BPJS Kesehatan. Jadi, bukan saja mengubah regulasi, namun juga sistem dan pola pikirnya untuk keadilan bagi peserta BPJS.
"Ini yang menurut saya perubahan standar ini ada manfaatnya. Kalau sekarang kelas 1, 2, 3, ada persoalan ini. Kita harapkan nanti kelas standar tidak ada lagi."
Dalam jurnal Health Financing in Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2009, dipaparkan bahwa cikal bakal jaminan kesehatan masyarakat sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai pemerintah dan keluarganya mendapatkan santunan biaya perawatan rumah sakit dari pemerintah Belanda.
Perbaikan Sistem Jaminan Kesehatan
Di era awal kemerdekaan Indonesia, Menteri Kesehatan ketika itu Prof GA Siwabessy menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta atau universal health insurance. Ini mengacu pada ketentuan yang diterapkan di negara maju. Saat itu pesertanya adalah pegawai negeri sipil dan keluarganya. Pada masa Presiden Soeharto, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 tentang program jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun serta ABRI. Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).Sekitar tahun 1984 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengubah status BPDPK menjadi BUMN. Yaitu Perum Husada Bakti (PHB). Cakupannya pun diperluas. Menjamin kesehatan PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, serta anggota keluarganya.
Peraturan Presiden No 69/1991 terbit dan menggantikan Keppres No 230/1968. Isinya adalah peserta asuransi kesehatan dibagi menjadi dua kategori. Ada yang wajib, yakni PNS. Serta peserta sukarela bagi para karyawan BUMN.
Pemerintah Kembali mengeluarkan Peraturan No 6/1992. Mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT Askes (Persero), yang menambahkan satu program Askes Komersial untuk menjaring karyawan BUMN. Sistemnya mirip Asuransi Kesehatan Sosial. Namun premi dibayar secara penuh oleh karyawan dengan persentase sesuai dengan gaji dan tidak ada subsidi premi yang berasal dari pemerintah maupun pemberi kerja.
Setelah itu terus mengalami perubahan, muncul Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Serta PP No 14/1992 dan PP No 36/1994. Isinya mewajibkan perusahaan dan tenaga kerja mengikuti program Jamsostek. Era 1997-1998, muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial yang memberikan bantuan bagi masyarakat miskin. Pada 2004, pemerintah mengeluarkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang kemudian biasa dikenal dengan Askeskin untuk menjangkau 60 warga miskin dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat.
Sekitar 2008, pelayanan kesehatan lebih disempurnakan dengan program Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat (Jamkesmas). Menyasar kepada masyarakat miskin seluruh Indonesia yang iurannya ditanggung secara penuh oleh pemerintah. Program ini dibentuk di 200 kabupaten / kota di seluruh Indonesia.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan aturan dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Di tahun 2011, pemerintah mengamanatkan PT Askes (Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial. Tepat pada 1 Januari 2014, PT Askes berubah nama menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Jejak Panjang perubahan sistem jaminan kesehatan di Indonesia tidak lain bertujuan untuk meningkatkan layanan dan kualitas. Serta menjangkau lebih banyak warga masyarakat Indonesia. Dari data terbaru pada Maret 2021, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mencapai 82,3 persen dari total penduduk Indonesia. Saat ini jumlah peserta terus dikejar hingga mencapai target Universal Health Coverage (UHC) sebesar 98 persen. Targetnya adalah tercapai pada tahun 2024.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rahmad Handoyo menjelaskan, penghapusan kelas dan menyamakan peserta BPJS menjadi kelas standar merupakan bagian dari pembenahan sistem dalam jaminan Kesehatan.
"Ya tentu mengapa diberikan kelas standar itu untuk menjawab keluhan dan kendala ya," tegasnya.
Peserta BPJS juga tidak boleh lagi dipandang sebelah mata oleh pihak Rumah Sakit. Sebab selama ini, pasien BPJS Kesehatan dianggap anak tiri dengan layanan Kesehatan yang minimal. Berbeda pada pasien non-BPJS. Handoyo menegaskan, saat ini BPJS Kesehatan adalah raja di mata rumah sakit. Dia menyebut, 70 persen hidup RS berasal dari uang peserta BPJS.
Jika layanan terhadap pasien BPJS tidak maksimal, maka rumah sakit harus diberi teguran. Dia mendorong direksi BPJS Kesehatan untuk mengurai persoalan yang kerap dikeluhkan oleh peserta BPJS. Mulai dari antre lama berjam-jam hingga fasilitas kesehatan.
"Saya berharap BPJS itu tegas, kalau ditemukan rakyat tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, BPJS bertindak keras, hentikan kerjasama dengan RS," ujarnya.
Pakar Kesehatan Masyarakat Prof Hasbullah Thabrany menilai, pelayanan BPJS Kesehatan yang kerap disebut buruk, pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan besaran pembayaran. Jika BPJS membayar rumah sakit dan dokter untuk pelayanan dengan harga yang layak, maka rumah sakit akan berlomba-lomba melayani peserta BPJS Kesehatan.
"Kalau BPJS membayar rumah sakit dengan harga yang laik, tidak mungkin rumah sakit mau membeda-bedakan, pasti dikasih karpet merah, kan begitu. Logis banget itu," jelasnya.
Permasalahan pembayaran ini merembet kepada layanan, termasuk juga pendaftaran. Hasbullah mengakui bahwa sistem antrean rumah sakit dan puskesmas banyak yang masih belum baik. Namun kembali, jika BPJS Kesehatan membayar mereka dengan layak, maka permasalahan ini perlu diperhatikan untuk segera dibenahi.
"Banyak peserta datang pagi baru dilayani sore. Kembali, kalau BPJS bayar dengan baik, tentu rumah sakit, klinik, puskesmas harus pasang karpet merah supaya mereka bisa melayani degan sebaik-baiknya. Kalau melayani sebaik-baiknya mereka dapat uang lebih banyak, kan begitu sederhana saja," tuturnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien memastikan bahwa pihaknya akan terus mendorong mengenai keberlanjutan, kualitas, dan keadilan yang dilaksanakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya adalah dengan penghapusan kelas kepesertaan.
Menurutnya, dasar kebijakan ini ialah Undang-Undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada Pasal 23 Ayat 4 yang menyatakan dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar.
Sementara, berdasarkan Perpres 64 tahun 2020 di Pasal 54 B, standarisasi diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Sejauh ini kajian sedang dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Dalam proses rencana, pelaksanaan KRIS JKN akan dilakukan secara bertahap dan bertransisi sebelum menjadi kelas tunggal JKN sebagaimana amanah UU SJSN," ungkapnya.
Anggota Komisi IX Saleh Daulay menerangkan, prinsip jaminan sosial ini adalah masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan secara menyeluruh dengan standar yang sama. Sebagai perwujudan dari rasa keadilan sosial. Sehingga, jangan ada kesan ada pasien yang bisa mendapat akses kesehatan lebih bagus dari pada lainnya. Sebagai penyelenggara, BPJS Kesehatan harus benar-benar menjamin rasa keadilan. Itu sebagai dasar dan amanat undang-undang.
Fenomena yang terjadi saat ini, terdapat pelayanan yang berbeda karena ada kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 serta masyarakat umum yang menggunakan asuransi. Mengesankan di luar pasien BPJS lebih diutamakan.
"Itu melanggar sebenarnya. Tidak boleh dan harus diperbaiki oleh pemerintah. Kalau nanti misalkan semuanya sudah standar sama yang mesti semuanya sama. Memang lagi tidak boleh berbeda-beda," tegasnya.
BPJS Kesehatan Tanpa Kelas
Wacana perubahan skema BPJS Kesehatan yang mengganti kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dengan kelas standar merupakan amanat dari undang-undang. Tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 ayat 4. Bunyinya adalah "dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar".
Teknisnya diatur dalam Perpres 64 Tahun 2020 yang merupakan Perubahan Kedua atas Perpres 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Diamanahkan dalam Pasal 54 B, penerapan kelas standar dilakukan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Aturan baru soal kelas dalam pelayanan BPJS akan diberlakukan secara menyeluruh pada 2025.
Proses transisi menjadi kelas tunggal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seperti tertuang dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Mengacu JKN, keuntungan dari penghapusan kelas dilihat dari dua yaitu manfaat medis dan non medis.
Manfaat medis menjadi tanggungjawab Kemenkes yang sampai sekarang masih berproses diskusi. Termasuk implikasi pada perubahan daftar jenis penyakit yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Sedangkan manfaat non medis berupa kelas rawat inap JKN yang menjadi tugas DJSN untuk mempersiapkannya.
Inti dari perubahan menjadi kelas standar adalah memastikan peserta JKN mudah mengakses tempat tidur atau ruang perawatan. Tak ada diskriminasi. Selama ini pasien umum lebih didahulukan ketimbang pasien BPJS. Jadi bukan hanya mengubah regulasi, tapi juga sistem dan pola pikir untuk keadilan bagi peserta BPJS.
"Sehingga mereka benar-benar memastikan ketika ada pasien atau peserta JKN membutuhkan ruang perawatan mereka carikan. Kalau nanti sama saja (pasien JKN) susah mengakses apa manfaatnya kita berubah menjadi kelas standar," pesan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar.
DJSN belum bicara mengenai dampak penghapusan kelas terhadap kewajiban iuran yang harus dibayarkan peserta BPJS Kesehatan. Beredar informasi, besarannya antara Rp50.000 dan Rp75.000.
Menurut Anggota DJSN Muttaqien, komposisi iuran hingga saat ini masih dalam proses pengkajian. Iuran akan dibagi antara kelas Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Memperhatikan besaran inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan dan yang paling penting kemampuan peserta. Terutama harus dilihat di masa Pandemi.
Prosesnya, sesuai Perpres 64 Tahun 2020, DJSN dan kementerian terkait akan mengusulkan iuran peserta BPJS Kesehatan kepada Presiden. Keputusan ada di tangan Kepala Negara.